Sabtu, 21 Juli 2012

RAKUS TERHADAP HARTA MENYEBABKAN HINA


Pada bagian yang lalu saya sudah mengemukakan beberapa hadis yang menjelaskan anjuran Islam agar kita memanfaatkan lahan secara produktif, dan memberikan penegasan bahwa Islam benar-benar menganjurkannya kepada kaum Muslimin, bahkan memberikan semangat dan dorongan untuk itu.
Dan sekarang saya akan menyebutkan beberapa hadits yang oleh sementara orang yang lemah pemahamannya serta ada penyakit di hatinya, serasa bertentangan dengan hadits-hadits di atas / yang terdahulu. Padahal kalau kita pahami secara baik, tanpa mengedepankan hawa nafsu sedikit pun, maka hadits-hadits yang akan saya sebutkan ini ternyata tidak berlawanan sama sekali. Hadits-hadits yang saya maksud adalah:
۱٠. اَ ْلاَوَّلُ : عَنْ اَبِىً اُمَامَةَ اَلبَاهِلِىِّ قَالَ : وَرَاى سِكَّةً وَسَيْءًامِنْ الَةِالحَرْثِ فَقَالَ : سَمِعْتً رَسُؤلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ يَقُؤلُ : ,, لاَيَدْخُلُ هذَا بَيْتَ قَؤمٍ الاَّ اَدْخَلَهُ اللّهُ الذُّلَّ,,
Pertama, dari Abu Umamah Al-Bahili, ia melihat sangkal bajak dan alat pertanian lainnya, lalu ia berkata: Saya mendengar َRasulullah SAW bersabda: ”Bila benda-benda ini masuk ke dalam sebuah rumah, niscaya Allah juga akan memasukkan kebinasaan.“
Hadis tersebut di-takhrij (dikeluarkan) oleh Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya (syarah Fathul-Bari, 4/5). Sedangkan Ath Thabrani juga meriwayatkannya di dalam Al-Kabir dari sanad lain, yakni dari Abu Umamah secara marfu’ dengan matan (redaksi) :
مَامِنْ اَهْلِ بَيْتٍ يَغْدُؤعَلَيْهِمْ فَدَانَ اِلاَّذَلُّؤا.
”Para penghuni rumah yang pagi-pagi keluar dengan sepasang lembu untuk membajak, pasti akan ditimpa kebinasaan.“
Hadits ini disebutkan di dalam Al-Mujma’ (6/120).
Para Ulama’ telah mengintegrasikan hadits ini dengan hadits-hadits yang disebutkan terdahulu dengan cara:
1. Yang dimaksud dengan adz-dzal adalah kewajiban (pajak) bumi yang diminta oleh negara. Orang yang melibatkan diri ke dalamnya, berarti telah menceburkan atau menyodorkan dirinya ke dalam kehinaan. Al-Manawi di dalam kitabnya al-Faidh menandaskan: ”Hadits ini tidak mencela pekerjaan bercocok tanam, sebab pekerjaan itu terpuji, karena banyak yang membutuhkannya. Disamping itu, kehinaan (karena melibatkan diri dalam urusan pajak) tidak menghalangi pahala sebagian orang (yang bercocok tanam). Dengan kata lain keduanya tidak ada hubungannya (talazum).
Karenanya Ibnu At-Tin mengatakan: ”Hadis ini merupakan salah satu berita Nabi SAW tentang hal-hal yang bersifat abstrak, karena dalam kenyataannya yang kita saksikan sekarang ini adalah, bahwa mayoritas orang yang teraniaya adalah para petani.“
2. Hadits itu dimaksudkan bagi mereka yang terbengkalai urusan ibadahnya karena terlalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan itu, lebih-lebih untuk berperang yang saat itu sangat dibutuhkan. Nampaknya dengan pendapat inilah Imam Bukhari memberi judul hadits tersebut dengan ”Peringatan Keras Terhadap Akibat yang Ditimbulkan karena Terlalu Sibuk dengan Alat-alat Pertanian, yang Melebihi Batas yang Telah Ditentukan.“
Dan sebagaimana telah kita maklumi, bahwa terlalu banyak menyibukkan diri dengan urusan pekerjaan dapat membuat seseorang lupa dengan kewajibannya, rakus terhadap dunia, mau terus-menerus bergelut dengan usaha pertanian bahkan enggan untuk berjuang. Seperti terlihat pada orang-orang kaya.
Penggabungan semacam ini diperkuat oleh sabda Nabi SAW
۱۱. اَذَا تَبَايَعْتُمْ بِالعَيَْطنَةِ , وَاَخَذْتُمْ اَذْنَابَ اْلبَقَرِ , وَرَضِيْتُمْ بِا لزَّرْعِ , وَتَرَكْتُمُ اْلجِهَادَ , سَلَطَ اللّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّيَنْزِعُهُ حَتّى تَرْجِعُؤ ااِلى دِيْنِكُمْ ,,
“Jika kalian berjual beli dengan caraInah (penjualan secara kredit dengan tambahan harga) dan mengambil ekor sapi, dan merasa lega dengan bertanam, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menurunkan kerendahan bagi kalian. Dan sekali-kali tidak akan melepaskannya kecuali jika kalian kembali kepada agama kalian.”
Status hadits ini adalah shahih, karena sanad-sanadnya telah disepakati. Saya telah mengumpulkan tiga sanad diantaranya, yang semuanya berasal dari Abdullah Ibnu Umar secara marfu.
1. Diriwayatkan oleh Ishaq Abu Abdurrahman, bahwa Atha Al-Khurasani memberitahukan kepadanya, bahwa Nafi’ telah meriwayatkan hadits kepadanya, dari Ibnu Umar. Nafi berkata (kemudian ia menyebutkan hadits itu).
Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud (nomor : 3462), Ad-Daulabi di dalam Al-Kuna (2/265), dan Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (5/361).
Hadits tersebut diperkuat oleh riwayat Fadhal bin Hashin dari Ayyub dari Nafi’.
Sedangkan Ibnu Syahin meriwayatkan di dalam Al-Afrad (1/1), dia mengatakan: “Fadhal sendirian saja (tafarrada) dalam meriwayatkan hadits itu.”
Sementara Al-Baihaqi berkomentar: “Hadits itu diriwayatkan dari dua sanad, yaitu dari Atha’ bin Abi Rabah yang dikutipnya dari Ibnu Umar ra.”
Dengan komentarnya itu Al-Baihaqi ingin memperkuat hadits itu. Saya telah meneliti salah satu di antara dua sanad yang dikatakannya itu, yakni:
2. Diriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Iyasy dari A’masy bin Atha’ bin Abi Rabah dari Ibnu Umar.
Hadis dengan sanad kedua ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (nomor : 4825), di dalam Az-Zuhd (20/84/1-2), dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (3/107/1), serta Abu Umayyah Ath-Tharsusi di dalam Musnad (kumpulan hadits lengkap dengan sanadnya) Ibnu Umar (220/1).
Sanad kedua ini juga ditakhrij oleh ATh-Thabrani di dalam Al-Kabir (3/107.1), dari Laits yang mengutipnya dari Abdul Malik bin Sulaiman dari Atha’. Sedangkan Ibnu Abid-Dun-ya mentakhrijnya di dalam Al-‘Uqubat (2/247) dari sanad lain namun juga dari Laits yang diperolehnya dari Atha’. Sementara itu Ibnu Abu Sulaiman mengugurkan salah satu dari dua sanad tersebut. Kemudian Abu Na’im juga meriwayatkannya di dalam Al-Hilyah (1/313-314).
3. Dari Sahr bin Hausyab, yang dikutip dari Ibnu Umar. Hadits dengan sanad ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (nomor : 5007).
Saya menemukan syahid-nya dari riwayat Basyir bin Zyad Al-Khurasany, ia berkata: “Kami diberi riwayat dari Ibnu Juraij dari Atha’ dari Jabir yang memberitakan: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: (Kemudian dia menyebutkan hadits di atas).”
Sedangkan Ibnu Addi di dalam kitabnya Al-Kamil mengenai biografi Basyir juga menyampaikan hadits ini. Ia mengomentarinya: “Basyir adalah orang yang tidak dikenal (ghairu ma’ruf). Dalam matan haditsnya ada bagian yang tidak dikenal. Sementara Adz-Dzahabi berkata: “Bagian (yang tidak dikenal) tersebut perlu diperhatikan (lam yutrak).
Renungkanlah bahwa hadits ini menjelaskan kebaikan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah sebelumnya. Kerendahan yang dimaksudkan di dalam hadits itu tidak semata-mata karena bercocok tanam, tetapi jika hal itu diiringi dengan kesibukan yang melalaikan perjuangan. Sedang bercocok tanam yang tidak mengganggu kewajiban, justru merupakan maksud hadits yang menganjurkan bercocok tanam. Dengan demikian antara kedua hadits tersebut, sebenarnya tidak ada pertentangan sama sekali.5)
Kedua : Sabda Nabi SAW:
۱٢. لاَتَتَّخِذُ واالضَّيْعَةَ فَتَرْغَبُؤا فِى الدُّنْيَا
“Janganlah kalian membuat pekarangan, yang kemudian membuat kalian cinta kepada dunia.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (4/264), Abu Al-Syaikh di dalam Ath-Thabaqat (298), Abu Ya’la di dalam Al-Musnad (1/251), Imam Hakim (4/222), Imam Ahmad (nomor: 2598, 4047), dan Al-Khattib (1/18), dari Syamer bin Atiyyah yang mengutip hadits Ghirah bin Sa’ad bin Al-Akram dari ayahnya yang diterima dari Ibnu Mas’ud secara marfudengan redaksi:
نَهى عَنِ التَّبَقُّرِ فِى اْلاَهْلِ وَ اْلمَالِ .
“Rasulullah SAW melarang berlebih-lebihan dalam hal keluarga dan harta benda.”
Hadits itu diperkuat oleh Abu Hamzah dengan penjelasannya: “Saya mendengar seorang laki-laki dari Thayyi’ yang meriwayatkan hadits dari ayahnya yang diperoleh dari Abdullah secara marfu.”
Imam Baghawi juga meriwayatkannya di dalam Hadits Ali Ibnu Ja’ad (2/6/20). Di dalam sanadnya ia menambahkan kata dari ayahnya, dan yang ini adalah benar, sebab riwayat dari Syamar juga seperti itu.
Hadits ini mempunyai syahid dari riwayat Laits yang diperoleh dari Nafi’ yang mengutip dari Inbu Umar secara marfu dengan redaksi pertama.
Imam Al-Muhamili menyampaikannya di dalam Al-Amali (2/69). Sedangkan semua sanad-sanadnya adalah hasan.
Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkannya dengan redaksi pertama, di dalam syarah penjelasan hadits Anas terdahulu, ia menjelaskan:
“Al Qurthubi berkata: “Hadits itu dikompromikan dengan hadits yang ada di dalam bab “Pekerjaan yang Membuat Lalai dari Ibadah dan Kewajiban Lainnya.” Sedangkan hadits yang menganjurkan untuk bekerja (bertani) ditujukan kepada usaha pertanian yang hasilnya memberikan manfaat pada kaum muslimin.”
Saya berpendapat: “Pengkompromian semacam ini diperkuat oleh redaksi kedua yang berasal dari Ibnu Mas’ud, dimana kata tabaqqur diartikan dengan At-Takatsur (berlebih-lebihan) dan at-tausi (memperluas). Wallahu a’lam.
Perlu kita ketahui, bahwa berlebih-lebihan dalam bekerja yang dapat melalaikan kewajiban seperti jihad, itulah yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan at-tahlukah, yang disebutkan di dalam firman Allah SWT:
وَلاَ تَلْقُؤابِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ . البقرة : 190
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” QS (Al-Baqarah : 190)
Dalam kondisi seperti itu kebanyakan orang salah menafsirkannya. Bahkan mereka mengatkan bahwa Abu Imran telah masuk Islam!
۱۳. غَزَؤنَا مِنَ الْمَدِيْنَةِ , نُرِيْدُ الْقُسْطَنْطِيْنِيَّةَ ,- وَعَلَى اَهْلِ مِصْرَ عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ – وَعَلَى الْجَمَاعَةِ عَبْدُ الرَّحمنِ بْنِ خَالِدِ بْنِ الوَلِيْدِ , وَالرُّؤمُ مُلْصِقُؤ ظُهُؤرِهِمْ بِهَاءطِ اْلمَدِيْنَةِ , فَحَمَلَ رَجُلٌ – مِنَّا – عَلَى اْلعَدُوِّ فَقَاللَ النَّاسُ : مَهْ مَهْ ! لاَاِلهَ اِلاَّ اللّهُ ! يُلْقِى بيدَيْهِ اِلَى التَّهْلُكَةِ ! لفَقَالَ اَبُؤاَيُّؤبَ – اْلاَنْصَرِىًِ :,, اِنَّمَاتَاءَقَ لُؤنَ هذِهِ اْلاَيَةَ هكَذَا اَنْ حَمَلَ رَجُلٌ يُقًاتِلُ يَلْتَمِسُ الشَّهَادّةَاَؤيَبْلىِ مِنْ نَفْسهِ ,, اِنَّمَا نَزَلَتْ هذِهِ اْلاَيَةُ فِيْنَا مَعْشَرَاْلاَنْصَارِ لَمَّا نَصَرَ اللّهُ نَبِيَّهُ وَاَظْهَرَ اْلاِاسْلاَمَ . قَلْنَا ,, بَيْنَنَ خَفِيًّا مِنْ الرَسثؤلِ اللّهِ صَلَى اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ : هَلُمَّ نُقِيْمُ فِى اَمْوَالِنَا وَنُصْلِحُهَا فَاَنْزَ اللّهُ تََعَالى : وَاَنْفِقُؤا فِى سَبِيْلِ اللّهِ وَلاَ تُلْقُؤابِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ,,
“Kami keluar dari Madinah menuju Konstantinopel. (Di antara penduduk Mesir terdapat Uqbah bin Amir). Sedang di antara rombongan itu terdapat Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Orang-orang menghadang kedatangan mereka di batas kota. Kemudian ada seseorang di antara kami menghadap ke musuh itu. Maka orang-orang berkata: “Celaka, laa ilaaha illallah, ia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan!” Lalu Abu Ayyub Al-Anshari berkata: “Kalian menakwilkan ayat ini seperti itu, yakni seseorang yang ingin mati syahid, atau ingin membinasakan dirinya! Padahal ayat ini turun berkenaan dengan kita kaum Anshar, yaitu tatkala Allah memberikan pertolongan kepada Nabi-Nya dan memunculkan Islam ke permukaan, maka kami berkata (pada waktu itu keislaman di antara kami belum jelas bagi Rasulullah SAW): “Mari kita benahi dan kita perbaiki harta benda kita.” Lalu Allah SWT menurunkan firman-Nya:
“Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” QS (Al-Baqarah : 190)
Yang dimaksud dengan menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan adalah, kita memperjuangkan harta benda kita, tetapi melalaikan urusan jihad kita. Selanjutnya Abu Imran berkata: “Abu Ayyub selalu aktif berjuang di jalan Allah hingga meninggal dan dikebumikan di Konstantinopel.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (1/393), Ibnu Abi Hatim di dalam tafsirnya (1/10/2), dan Imam Hakim (2/275). Abu Dawud mengatakan bahwa hadits itu shahih dan sesuai dengan criteria ke-shahih­-an Bukhari-Muslim. Sementara Adz-Dzahabi juga setuju dengan penilaian Abu Dawud tersebut. Namun keduanya baik Abu Dawud maupun Adz-Dzahabi mengasumsikan bahwa Bukhari-Muslim tidak menyampaikan hadits ini. Dengan demikian lebih tepatnya hadits ini dikategorikan sebagai hadits shahih saja (tanpa melibatkan Bukhari-Muslim).

0 komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN DIISI JAWABAN ANANDA DI KOLOM KOMENTAR DENGAN LENGKAP

Popular Posts