Pada bagian yang lalu
saya sudah mengemukakan beberapa hadis yang menjelaskan anjuran Islam agar kita
memanfaatkan lahan secara produktif, dan memberikan penegasan bahwa Islam
benar-benar menganjurkannya kepada kaum Muslimin, bahkan memberikan semangat dan
dorongan untuk itu.
Dan sekarang saya akan menyebutkan
beberapa hadits yang oleh sementara orang yang lemah pemahamannya serta ada
penyakit di hatinya, serasa bertentangan dengan hadits-hadits di atas / yang
terdahulu. Padahal kalau kita pahami secara baik, tanpa mengedepankan hawa nafsu
sedikit pun, maka hadits-hadits yang akan saya sebutkan ini ternyata tidak
berlawanan sama sekali. Hadits-hadits yang saya maksud
adalah:
۱٠. اَ ْلاَوَّلُ : عَنْ اَبِىً اُمَامَةَ اَلبَاهِلِىِّ قَالَ : وَرَاى
سِكَّةً وَسَيْءًامِنْ الَةِالحَرْثِ فَقَالَ : سَمِعْتً رَسُؤلُ اللّهِ صَلَّى
اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ يَقُؤلُ : ,, لاَيَدْخُلُ هذَا بَيْتَ قَؤمٍ الاَّ
اَدْخَلَهُ اللّهُ الذُّلَّ,,
Pertama, dari Abu
Umamah Al-Bahili, ia melihat sangkal bajak dan alat pertanian lainnya, lalu ia
berkata: Saya mendengar َRasulullah SAW
bersabda: ”Bila benda-benda ini masuk ke dalam sebuah rumah, niscaya Allah
juga akan memasukkan kebinasaan.“
Hadis tersebut di-takhrij (dikeluarkan) oleh Imam Bukhari
di dalam kitab shahihnya (syarah Fathul-Bari, 4/5). Sedangkan Ath
Thabrani juga meriwayatkannya di dalam Al-Kabir dari sanad lain, yakni dari Abu
Umamah secara marfu’ dengan matan
(redaksi) :
مَامِنْ اَهْلِ بَيْتٍ يَغْدُؤعَلَيْهِمْ فَدَانَ
اِلاَّذَلُّؤا.
”Para penghuni rumah
yang pagi-pagi keluar dengan sepasang lembu untuk membajak, pasti akan ditimpa
kebinasaan.“
Hadits ini disebutkan di dalam Al-Mujma’ (6/120).
Para Ulama’ telah mengintegrasikan
hadits ini dengan hadits-hadits yang disebutkan terdahulu dengan
cara:
1. Yang
dimaksud dengan adz-dzal adalah
kewajiban (pajak) bumi yang diminta oleh negara. Orang yang melibatkan diri ke
dalamnya, berarti telah menceburkan atau menyodorkan dirinya ke dalam kehinaan.
Al-Manawi di dalam kitabnya al-Faidh
menandaskan: ”Hadits ini tidak mencela pekerjaan bercocok tanam, sebab pekerjaan
itu terpuji, karena banyak yang membutuhkannya. Disamping itu, kehinaan (karena
melibatkan diri dalam urusan pajak) tidak menghalangi pahala sebagian orang
(yang bercocok tanam). Dengan kata lain keduanya tidak ada hubungannya (talazum).
Karenanya Ibnu At-Tin
mengatakan: ”Hadis ini merupakan salah satu berita Nabi SAW tentang hal-hal yang
bersifat abstrak, karena dalam kenyataannya yang kita saksikan sekarang ini
adalah, bahwa mayoritas orang yang teraniaya adalah para
petani.“
2. Hadits
itu dimaksudkan bagi mereka yang terbengkalai urusan ibadahnya karena terlalu
sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan itu, lebih-lebih untuk berperang yang saat itu
sangat dibutuhkan. Nampaknya dengan pendapat inilah Imam Bukhari memberi judul
hadits tersebut dengan ”Peringatan Keras Terhadap Akibat yang Ditimbulkan karena
Terlalu Sibuk dengan Alat-alat Pertanian, yang Melebihi Batas yang Telah
Ditentukan.“
Dan sebagaimana telah
kita maklumi, bahwa terlalu banyak menyibukkan diri dengan urusan pekerjaan
dapat membuat seseorang lupa dengan kewajibannya, rakus terhadap dunia, mau
terus-menerus bergelut dengan usaha pertanian bahkan enggan untuk berjuang.
Seperti terlihat pada orang-orang kaya.
Penggabungan semacam ini diperkuat oleh sabda Nabi
SAW
۱۱. اَذَا تَبَايَعْتُمْ بِالعَيَْطنَةِ , وَاَخَذْتُمْ اَذْنَابَ
اْلبَقَرِ , وَرَضِيْتُمْ بِا لزَّرْعِ , وَتَرَكْتُمُ اْلجِهَادَ , سَلَطَ اللّهُ
عَلَيْكُمْ ذُلاًّيَنْزِعُهُ حَتّى تَرْجِعُؤ ااِلى دِيْنِكُمْ ,,
“Jika kalian berjual beli dengan cara “Inah (penjualan secara kredit
dengan tambahan harga) dan mengambil ekor sapi, dan merasa lega dengan bertanam,
dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menurunkan kerendahan bagi kalian. Dan sekali-kali tidak akan melepaskannya kecuali jika kalian kembali
kepada agama kalian.”
Status hadits ini adalah shahih,
karena sanad-sanadnya telah
disepakati. Saya telah mengumpulkan tiga sanad
diantaranya, yang semuanya berasal dari Abdullah Ibnu Umar secara marfu’.
1.
Diriwayatkan
oleh Ishaq Abu Abdurrahman, bahwa Atha Al-Khurasani memberitahukan
kepadanya, bahwa Nafi’ telah meriwayatkan hadits
kepadanya, dari Ibnu Umar. Nafi berkata (kemudian
ia menyebutkan hadits
itu).
Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud (nomor : 3462), Ad-Daulabi di dalam
Al-Kuna (2/265), dan Al-Baihaqi di dalam
As-Sunan Al-Kubra
(5/361).
Hadits tersebut diperkuat oleh riwayat Fadhal bin Hashin dari Ayyub dari Nafi’.
Sedangkan Ibnu Syahin
meriwayatkan di dalam Al-Afrad (1/1), dia
mengatakan: “Fadhal sendirian saja (tafarrada) dalam meriwayatkan hadits
itu.”
Sementara Al-Baihaqi
berkomentar: “Hadits itu diriwayatkan dari dua sanad,
yaitu dari Atha’ bin Abi Rabah yang dikutipnya dari Ibnu
Umar ra.”
Dengan komentarnya itu Al-Baihaqi ingin memperkuat hadits itu. Saya telah meneliti salah satu di antara dua sanad yang dikatakannya itu, yakni:
2.
Diriwayatkan
dari Abu Bakar bin ‘Iyasy dari A’masy bin Atha’ bin Abi Rabah dari Ibnu Umar.
Hadis dengan sanad kedua ini
ditakhrij oleh Imam Ahmad (nomor : 4825), di dalam
Az-Zuhd (20/84/1-2), dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir
(3/107/1), serta Abu Umayyah Ath-Tharsusi di dalam Musnad (kumpulan hadits lengkap dengan sanadnya)
Ibnu Umar (220/1).
Sanad kedua ini juga ditakhrij oleh ATh-Thabrani di dalam Al-Kabir
(3/107.1), dari Laits yang mengutipnya dari Abdul Malik bin Sulaiman dari Atha’. Sedangkan Ibnu Abid-Dun-ya
mentakhrijnya di dalam Al-‘Uqubat (2/247) dari sanad
lain namun juga dari Laits
yang diperolehnya dari Atha’. Sementara itu Ibnu Abu Sulaiman mengugurkan salah satu dari dua sanad tersebut. Kemudian Abu Na’im juga meriwayatkannya di
dalam Al-Hilyah
(1/313-314).
3.
Dari Sahr bin Hausyab, yang dikutip
dari Ibnu Umar. Hadits dengan sanad ini diriwayatkan
oleh Imam Ahmad (nomor :
5007).
Saya menemukan syahid-nya dari riwayat Basyir bin Zyad Al-Khurasany ,
ia berkata: “Kami diberi riwayat
dari Ibnu Juraij dari Atha’
dari Jabir yang memberitakan: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: (Kemudian
dia menyebutkan hadits di atas).”
Sedangkan Ibnu Addi di dalam kitabnya Al-Kamil mengenai biografi Basyir
juga menyampaikan hadits ini.
Ia mengomentarinya: “Basyir adalah orang yang tidak dikenal (ghairu ma’ruf). Dalam matan haditsnya ada bagian yang
tidak dikenal. Sementara Adz-Dzahabi berkata:
“Bagian (yang tidak dikenal) tersebut perlu diperhatikan (lam yutrak).
Renungkanlah bahwa hadits ini menjelaskan
kebaikan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah
sebelumnya. Kerendahan yang dimaksudkan di dalam hadits itu tidak semata-mata
karena bercocok tanam, tetapi jika hal itu diiringi dengan kesibukan yang
melalaikan perjuangan. Sedang bercocok tanam yang tidak
mengganggu kewajiban, justru merupakan maksud hadits yang menganjurkan bercocok
tanam. Dengan demikian antara kedua hadits tersebut, sebenarnya tidak ada
pertentangan sama
sekali.5)
Kedua :
Sabda Nabi SAW:
۱٢. لاَتَتَّخِذُ واالضَّيْعَةَ فَتَرْغَبُؤا فِى
الدُّنْيَا
“Janganlah kalian membuat pekarangan, yang kemudian
membuat kalian cinta kepada dunia.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (4/264),
Abu Al-Syaikh di dalam Ath-Thabaqat (298), Abu Ya’la di dalam Al-Musnad (1/251), Imam Hakim (4/222),
Imam Ahmad (nomor: 2598, 4047), dan Al-Khattib (1/18),
dari Syamer bin Atiyyah yang
mengutip hadits Ghirah bin Sa’ad bin Al-Akram dari ayahnya
yang diterima dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ dengan redaksi:
نَهى عَنِ التَّبَقُّرِ فِى اْلاَهْلِ وَ اْلمَالِ
.
“Rasulullah SAW melarang berlebih-lebihan dalam hal
keluarga dan harta benda.”
Hadits itu diperkuat oleh Abu Hamzah dengan
penjelasannya: “Saya mendengar seorang laki-laki dari Thayyi’ yang meriwayatkan hadits dari ayahnya yang diperoleh
dari Abdullah secara marfu’.”
Imam Baghawi juga meriwayatkannya di
dalam Hadits Ali Ibnu Ja’ad
(2/6/20). Di dalam sanadnya ia menambahkan kata dari ayahnya, dan yang ini adalah benar,
sebab riwayat dari Syamar juga seperti
itu.
Hadits ini mempunyai syahid dari riwayat Laits
yang diperoleh dari Nafi’ yang mengutip dari Inbu Umar secara marfu’ dengan redaksi
pertama.
Imam Al-Muhamili menyampaikannya di dalam
Al-Amali (2/69). Sedangkan semua sanad-sanadnya adalah
hasan.
Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar
menyebutkannya dengan redaksi pertama, di dalam syarah
penjelasan hadits Anas terdahulu, ia menjelaskan:
“Al Qurthubi berkata:
“Hadits itu dikompromikan dengan hadits yang ada di
dalam bab “Pekerjaan yang Membuat Lalai dari Ibadah dan
Kewajiban Lainnya.” Sedangkan hadits yang menganjurkan untuk
bekerja (bertani) ditujukan kepada usaha pertanian yang hasilnya memberikan
manfaat pada kaum muslimin.”
Saya berpendapat: “Pengkompromian semacam ini diperkuat oleh redaksi kedua yang
berasal dari Ibnu Mas’ud, dimana kata tabaqqur diartikan dengan At-Takatsur (berlebih-lebihan) dan at-tausi (memperluas). Wallahu
a’lam.
Perlu kita ketahui, bahwa berlebih-lebihan dalam
bekerja yang dapat melalaikan kewajiban seperti jihad, itulah yang dimaksud
dalam Al-Qur’an dengan at-tahlukah, yang
disebutkan di dalam firman Allah SWT:
وَلاَ تَلْقُؤابِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ . البقرة : 190
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan.” QS (Al-Baqarah :
190)
Dalam kondisi seperti itu
kebanyakan orang salah menafsirkannya. Bahkan mereka mengatkan
bahwa Abu Imran telah masuk Islam!
۱۳. غَزَؤنَا مِنَ الْمَدِيْنَةِ , نُرِيْدُ الْقُسْطَنْطِيْنِيَّةَ
,- وَعَلَى اَهْلِ مِصْرَ عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ – وَعَلَى الْجَمَاعَةِ عَبْدُ
الرَّحمنِ بْنِ خَالِدِ بْنِ الوَلِيْدِ , وَالرُّؤمُ مُلْصِقُؤ ظُهُؤرِهِمْ
بِهَاءطِ اْلمَدِيْنَةِ , فَحَمَلَ رَجُلٌ – مِنَّا – عَلَى اْلعَدُوِّ فَقَاللَ
النَّاسُ : مَهْ مَهْ ! لاَاِلهَ اِلاَّ اللّهُ ! يُلْقِى بيدَيْهِ اِلَى
التَّهْلُكَةِ ! لفَقَالَ اَبُؤاَيُّؤبَ – اْلاَنْصَرِىًِ :,, اِنَّمَاتَاءَقَ
لُؤنَ هذِهِ اْلاَيَةَ هكَذَا اَنْ حَمَلَ رَجُلٌ يُقًاتِلُ يَلْتَمِسُ
الشَّهَادّةَاَؤيَبْلىِ مِنْ نَفْسهِ ,, اِنَّمَا نَزَلَتْ هذِهِ اْلاَيَةُ فِيْنَا
مَعْشَرَاْلاَنْصَارِ لَمَّا نَصَرَ اللّهُ نَبِيَّهُ وَاَظْهَرَ اْلاِاسْلاَمَ .
قَلْنَا ,, بَيْنَنَ خَفِيًّا مِنْ الرَسثؤلِ اللّهِ صَلَى اللّهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ : هَلُمَّ نُقِيْمُ فِى اَمْوَالِنَا وَنُصْلِحُهَا فَاَنْزَ اللّهُ
تََعَالى : وَاَنْفِقُؤا فِى سَبِيْلِ اللّهِ وَلاَ تُلْقُؤابِاَيْدِيْكُمْ اِلَى
التَّهْلُكَةِ ,,
“Kami
keluar dari Madinah menuju Konstantinopel. (Di antara penduduk Mesir terdapat Uqbah bin Amir).
Sedang di antara rombongan itu terdapat Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Orang-orang
menghadang kedatangan mereka di batas kota . Kemudian ada seseorang di antara kami menghadap ke musuh itu.
Maka orang-orang berkata: “Celaka, laa ilaaha illallah, ia menjatuhkan
dirinya ke dalam kebinasaan!” Lalu Abu Ayyub Al-Anshari berkata: “Kalian
menakwilkan ayat ini seperti itu, yakni seseorang yang
ingin mati syahid, atau ingin membinasakan dirinya!
Padahal ayat ini turun berkenaan dengan kita kaum Anshar, yaitu tatkala Allah memberikan pertolongan kepada
Nabi-Nya dan memunculkan Islam ke permukaan, maka kami berkata (pada waktu itu
keislaman di antara kami belum jelas bagi Rasulullah SAW): “Mari kita benahi dan kita perbaiki harta benda kita.” Lalu Allah SWT
menurunkan firman-Nya:
“Dan belanjakanlah harta bendamu di
jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” QS (Al-Baqarah :
190)
Yang dimaksud
dengan menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan
adalah, kita memperjuangkan harta benda kita, tetapi melalaikan urusan jihad
kita. Selanjutnya Abu Imran
berkata: “Abu Ayyub selalu aktif berjuang di jalan
Allah hingga meninggal dan dikebumikan di Konstantinopel.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (1/393), Ibnu
Abi Hatim di dalam tafsirnya (1/10/2), dan Imam Hakim
(2/275). Abu
Dawud mengatakan bahwa hadits itu shahih dan sesuai dengan criteria
ke-shahih-an Bukhari-Muslim. Sementara
Adz-Dzahabi juga setuju dengan penilaian Abu Dawud
tersebut. Namun keduanya baik Abu Dawud maupun
Adz-Dzahabi mengasumsikan
bahwa Bukhari-Muslim tidak menyampaikan hadits ini. Dengan demikian lebih tepatnya hadits ini dikategorikan sebagai
hadits shahih saja (tanpa melibatkan
Bukhari-Muslim).
0 komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN DIISI JAWABAN ANANDA DI KOLOM KOMENTAR DENGAN LENGKAP